Rabu, 19 Oktober 2016

vitamin a

PENGARUH PROSES PENGOLAHAN DAUN SINGKONG (Manihot esculenta Crantz) DENGAN BERBAGAI PERLAKUAN TERHADAP KADAR β-KAROTEN Disusun untuk memenuhi tugas Gizi Kesehatan Masyarakat


PENGARUH PROSES PENGOLAHAN DAUN SINGKONG (Manihot esculenta Crantz) DENGAN BERBAGAI PERLAKUAN TERHADAP
KADAR β-KAROTEN
Disusun untuk memenuhi tugas Gizi Kesehatan Masyarakat
Dosen Pengampu : Irwan Budiono, S.K.M., M.Kes




Oleh:

Wulan Khoirul Rohmah          (6411414048)

Rombel : 2




JURUSAN ILMU KESEHATAN MASYARAKAT
FAKULTAS ILMU KEOLAHRAGAAN
UNIVERSITAS NEGERI SEMARANG
2016

BAB I
PENDAHULUAN
I.I Latar Belakang
Defisiensi vitamin A adalah masalah gizi utama pada  lingkungan  miskin,  terutama  negara  dengan penghasilan rendah. Menurut data WHO pada Global Prevalence of Vitamin A Deficiency in Populations at Risk  1995–2005,prevalensi  rabun  senja  pada  anak balita dan ibu hamil di dunia adalah 0,9% dan 7,8%. Pada wilayah Asia Tenggara, 0,5%  (1,01  juta) balita dan 9,9% (3,84 juta) ibu hamil menderita rabun senja.  Oleh  karena  defisiensi  vitamin  A  menjadi masalah kesehatan masyarakat yang  serius di negara berkembang,  perhatian  terhadap  sumber  makanan dan kecukupan provitamin A meningkat.
Vitamin  A  berperan  pada  fungsi  fisiologis tubuh,  seperti  fungsi    penglihatan,  diferensiasi  sel, imunitas tubuh, pertumbuhan dan perkembangan, dan reproduksi. Kebutuhan  vitamin A  pada  pria  dan wanita  dewasa  adalah  600  dan  500  µg  RE  per  hari.  Defisiensi  vitamin  A  dapat  menyebabkan gangguan pada  fungsi  fisiologis  tubuh,  seperti  rabun senja, kulit  kering,  keratinisasi, meningkatnya  risiko infeksi  akibat  penurunan  fungsi  kekebalan  tubuh, kegagalan  pertumbuhan,  dan  meningkatnya  risiko keguguran atau kesukaran dalam melahirkan.
Salah  satu etiologi defisiensi vitamin A adalah kekurangan  asupan  vitamin  A  dari  makanan,  baik asupan makanan dari pangan hewani sebagai sumber vitamin  A  bentuk  aktif  dan  pangan  nabati  sebagai sumber provitamin A.  Vitamin  A  terdapat  dalam  pangan  hewani berupa  bentuk  aktif  (misalnya  retinol)  dan  dalam pangan  nabati  berupa  provitamin  A  (misalnya  β-karoten).  Sumber  karoten  adalah  sayuran  berwarna hijau  tua  serta  sayuran  dan  buah-buahan  berwarna kuning-jingga,  seperti  daun  singkong,  daun  kacang, kangkung,  bayam,  kacang  panjang,  buncis,  wortel, tomat, dan pepaya. 
β-karoten  adalah  bentuk  provitamin  A  yang paling aktif. β-karoten memiliki  sifat kimia yang mirip  dengan  vitamin  A,  yaitu  sensitif  terhadap oksigen, cahaya, dan  lingkungan asam. β-karoten mudah teroksidasi oleh cahaya, panas, logam, enzim, dan  peroksida.  Oksidasi  β-karoten  merupakan penyebab utama berkurangnya kadar β-karoten dalam bahan  pangan.  Perubahan  warna  pada  keripik singkong  atau  wortel  menunjukkan  bahwa  proses pengeringan  bahan  makanan  menyebabkan  oksidasi dan degradasi   β-karoten sehingga warna pada bahan makanan pun berubah.
Pada  banyak  negara  berkembang,  sumber vitamin  A  dari  pangan  hewani  sangat  jarang  dan mahal. Oleh karena itu, bahan pangan nabati menjadi sumber  utama  vitamin  A.  Salah  satu  bahan pangan  nabati  yang  tinggi  kandungan  vitamin  A adalah  daun  singkong. Daun  singkong  adalah  bahan pangan  yang  murah,  mudah  ditanam,  dan  mudah didapat  oleh  masyarakat  Indonesia.  Daun  singkong segar  mengandung  3300  µg  RE  vitamin  A (karotenoid) per 100 gramnya atau setara 550 µg RE all-trans-retinol sehingga dapat dimanfaatkan sebagai bahan pangan sumber vitamin A.
Menurut Bim Pusat Statistik  luas panen  tanaman singkong  di  Indonesia adalah 1.351.324 ha  atau  terdapat  sekitar  l3,5 milyar  pohon.  Dengan  rata-rata  hasil  daun 0.5  kg per pohon maka jumlah daun singkong yang terbuang dapat mencapai  sekitar 7 juta  ton.
Di  Indonesia,  daun  singkong  dapat  diolah dengan  beberapa  macam  pengolahan,  seperti perebusan  dengan  air  garam,  perebusan  dengan  air garam  dilanjutkan  perebusan  dengan  santan,  serta perebusan  dengan  air  garam  dilanjutkan  penumisan dengan  minyak  goreng.  Daun  singkong  memiliki struktur fisik yang keras sehingga memerlukan proses pengolahan  yang  lama.  Selain  itu,  daun  singkong, memerlukan  perebusan  awal  untuk  menghilangkan zat antigizi HCN (asam sianida) yang berbahaya bagi kesehatan. Perebusan daun  singkong yang  sangat muda dapat dilakukan selama 5-10 menit, sedangkan perebusan  daun  yang  tua,  yang  biasanya  lebih  keras dan  mengandung  lebih  banyak  asam  sianida, memerlukan  waktu  yang  lebih  lama  dan  persiapan yang lebih hati-hati.
Pengolahan  daun  singkong  dengan  suhu  tinggi (pengeringan)  dapat  merusak  kandungan  β-karoten sebesar  38%.  Meskipun  begitu,  masakan  daun singkong  masih  dapat  memberikan  kontribusi terhadap  kebutuhan  vitamin  A.  Daun  singkong memiliki  potensial  terhadap  kebutuhan  vitamin  A bila dimasak dengan  tetap memperhatikan perlakuan yang benar untuk mencegah bertambah banyaknya β-karoten yang rusak dan hilang.
Meski sudah diketahui adanya penurunan kadar β-karoten dalam daun singkong yang dimasak, belum ada  penelitian mengenai  pengaruh  pengolahan  daun singkong di Indonesia terhadap kadar β-karoten. Oleh karena  itu,  perlu  dilakukan  penelitian  pengaruh variasi pengolahan daun  singkong yang dilakukan di Indonesia terhadap kadar β-karoten.
I.2 Rumusan Masalah
Berdasarkan  uraian  latar  belakang masalah  di  atas, maka  dapat  dirumuskan permasalahan penelitian sebagai berikut : 
1.             Apakah pengertian dari vitamin A ?
2.             Bagaimanakah struktur kimia dari vitamin A ?
3.             Apakah macam-macam sumber vitamin A ?
4.             Apakah manfaat dari vitamin A bagi kesehatan tubuh ?
5.             Apakah akibat jika mengalami defisiensi ataupun kelebihan vitamin A ?
6.             Apa sajakah kandungan yang ada dalam daun singkong ?
7.             Apakah ada pengaruh variasi pengolahan terhadap kadar β-karoten dalam daun singkong ?
1.3  Tujuan Penulisan
Berdasarkan  uraian  rumusan masalah  di  atas, maka  dapat  ditujuan  penulisan sebagai berikut : 
1.             Mengetahui pengertian dari vitamin A.
2.             Mengetahui struktur kimia dari vitamin A.
3.             Mengetahui macam-macam sumber vitamin A.
4.             Mengetahui manfaat dari vitamin A bagi kesehatan tubuh.
5.             Mengetahui akibat jika mengalami defisiensi ataupun kelebihan vitamin A.
6.             Mengetahui kandungan yang ada dalam daun singkong.
7.             Mengetahui adanya pengaruh variasi pengolahan terhadap kadar β-karoten dalam daun singkong.







BAB II
PEMBAHASAN
2.1  Pengertian dari Vitamin A
Vitamin A adalah salah satu zat gizi dari golongan vitamin yang sangat di perlukan oleh tubuh yang berguna untuk kesehatan mata (agar dapat melihat dengan baik) dan untuk kesehatan tubuh (meningkatkan daya tahan tubuh untuk melawan penyakit misalnya campak, diare dan penyakit infeksi lain).
Vitamin A adalah vitamin larut lemak yang pertama ditemukan.Secara  luas   vitamin  A  merupakan   nama generik yang   menyatakan   semua retinoid dan prekursor/provitamin A/karotenoid mempunyai aktivitas biologik sebagai retinol.
Vitamin A adalah salah satu jenis vitamin yang aktif dan larut dalam lemak dan disimpan dalam hati. Vitamin A terdiri dari dua bentuk yaitu vitamin   A   pra-bentuk   dan   Pro-vitamin   A.   Vitamin   A   pra-bentuk   terbagi menjadi 4, yaitu: retinol, retinal, asam retinoat dan ester retinil. Sedangkan provitamin A dikenal sebagai beta karoten.
2.2  Struktur Kimia dari Vitamin A
Berikut ini merupakan struktur kimia secara umum yang terdapat pada vitamin A :


    Gambar struktur Vitamin A







Vitamin   A   dalam   tumbuhan   terdapat   dalam   bentuk   prekusor (provitamin). Provitamin A terdiri dari  ,  α β, dan  γ- karoten.  β  – karoten merupakan pigmen kuning dan salah satu jenis antioksidan yang memegang peran penting dalam mengurangi reaksi berantai radikal bebas dalam jaringan.
Struktur kimia β - karoten.
2.3  Macam-Macam Sumber Vitamin A
Vitamin A yaitu karoten terdapat dalam berbagai macam makanan. Daging merah hati, susu, full cream, keju, mentega merupakan makanan yang tinggi retinol. Sayur dan buah-buahan berwarna hijau dan kuning seperti wortel, sayur hijau seperti daun singkong, daun kacang, kangkung, bayam, kacang panjang, buncis, tomat, jagung kuning, pepaya, mangga, nangka masak, jeruk, buah peach,  apricot dan minyak sayur, yaitu minyak kelapa sawit  yang berwarna merah merupakan makanan yang tinggi karoten ( Hidayat, 2005, hlm. 91 ).
2.4  Manfaat dari Vitamin A bagi Kesehatan Tubuh
Vitamin   A   mempunyai   bermacam-macam   manfaat   yang   sangat diperlukan bagi tubuh, diantaranya :
1.      Menjaga kesehatan mata
Vitamin A sangat berperan dalam proses pembentukan indera penglihatan. Vitamin ini akan membantu  mengubah  sinyal molekul dari  sinar atau cahaya   yang kemudian diterima oleh retina untuk menjadi suatu proyeksi gambar di otak kita.
2.      Mencegah terjadinya kanker
Vitamin A dapat membantu sel untuk bereproduksi secara normal. Jika sel-sel tersebut tidak bereproduksi secara normal, bisa berubah menjadi pra-kanker.
3.      Diperlukan untuk Ibu Hamil
Vitamin   A juga sangat baik bagi ibu hamil. Karena dapat membantu pertumbuhan dan perkembangan   embrio   dan   janin,   serta   akan   mempengaruhi   gen   untuk perkembangan organnya.
4.      Mencegah infeksi, meningkatkan kekebalan tubuh
Vitamin   A melindungi tubuh  dari  inveksi   organisme  asing seperti bakteri patogen. Vitamin ini akan meningkatkan aktivitas kerja dari sel darah putih dan antibodi di dalam tubuh, sehingga tubuh menjadi lebih resisten terhadap senyawa toksin ataupun serangan mikroorganisme parasit.
2.5  Akibat jika Mengalami Defisiensi ataupun Kelebihan Vitamin A
Kekurangan vitamin A yang parah mengarah pada berbagai perubahan fisik pada mata yang   pada   akhirnya   akan   menyebabkan   kebutaan.   Selain   itu   kekurangan vitamin   A   juga   dapat   menyebabkan   kerentanan   terhadap   infeksi   saluran pernafasan dan gangguan pada kulit.
Penyakit lain seperti penyakit paru-paru autoimun dan ISPA (Infeksi Saluran Pernafasan Akut). Penyakit paru ini akibat kurangnya berbagai vitamin termasuk vitamin. Biasanya penyakit autonium pada paru-paru ini menyerang orang dewasa yang   punya   kebiasaan   merokok.   Namun   dapat   juga   menyerang   bayi   jika kekurangan asupan vitamin A. Karena menurut tabel defisiensi vitamin, bahwa vitamin A yang memberi pengaruh lebih besar terhadap sel T pada tubuh. Sel T inilah yang berpengaruh pada imunitas tubuh.
2.6  Kandungan yang Ada Dalam Daun Singkong
Ditinjau dari segi nutrisi, kandungan zat gizidaun singkong lebih baik daripada rumput gajah. Pada Tabel 1 terlihat, bahwa daun singkong mengandung protein, lemak, kalsium energi yang lebih tinggi dibandingkan dengan rumput gajah yang dipotong pada umur ± 40 hari .
Kandungan protein daun singkong umumnya berkisar antara 20 - 36% dari bahan kering . Kisaran ini disebabkan perbeclaan varietas, kesuburan tanah clan komposisi campuran daun clan tangkai daun. Dilihat dari tingginya kandungan protein kasar, daun singkong termasuk pakan sumber protein . Di samping itu daun singkong mengandung provitamin A yang cukup tinggi (JALALUDIN,1977) . Menurut ACKER (1971) yang melakukan pengelompokan pakan hijauan berdasarkan kualitasnya, pakan hijauan yang menganclung protein kasar di atas 10%, energi di atas 50% TDN, kalsium di atas 1,0% dari bahan kering clan kandungan vitamin A yang tinggi termasuk kelompok hijauan yang berkualitas tinggi .
Akan tetapi daun singkong juga mempunyai masalah, di samping mengandung asam amino methionine yang relatif rendah juga mengandung asam sianida yang bersifat racun.
Asam sianida
Daun singkong mengandung senyawa sianida yang terdapat dalam getah berwarna putih, yang dalam keadaan alami berikatan dengan glukosida. Menurut HENDERSHOOT et al. (1972) yang disitasi oleh SOETRISNO et al. (1981) ada 2 macam glukosida yaitu linamarin (93%) dan lotaustralin (7%). Jika jaringan sel tanaman dirusak maka enzim linamarase akan memutuskan ikatan senyawa tersebut clan membebaskan asam sianida.
Berdasarkan kandungan sianida yang diutarakan oleh SIREGAR (1994), pakan hijauan dibagi menjadi 5 kelompok sebagai berikut .
a . Kandungan sianida kurang dari 250ppm, masihrendah sekali clan belum berbahaya bagi ternak .
b. Kandungan sianida 250 - 500 ppm, masih rendah clan belum berbahaya bagi ternak .
c . Kandungan sianida 500 - 750 ppm, sedang namun sudah diragukan.
d. Kandungan sianida 750 - 1 .200 ppm, tinggi clan berbahaya .
e. Kandungan sianida lebih dari 1 .200 ppm, sangat tinggi clan berbahaya sekali .
Bahaya keracunan asam sianida
Asam sianida merupakan salah satu jenis racun yang sangat berbahaya, dalam konsentrasi tinggi dapat mematikan ternak (keracunan akut) .Keracunan asam ini dapat terjadi melalui beberapa cara di antaranya melalui saluran pencernaan (oral), pernapasan clan terserap kulit . Apabila dosis yang masuk ke dalam tubuh rendah namun jangka waktu yang cukup lama akan menyebabkan keracunan kronis serta menurunkan kesehatan.



Upaya menanggulangi pengaruh sianida
Apabila jaringan sel tanaman dirusak maka enzim linamarase akan memutuskan ikat,an linamarin sehingga sianicla terbebas . Sianida yang terbatas inilah dapat membahayakan apabila terclapat dalam bahan pakan yang diberikan dalam closis yang melampaui batas .
Beberapa cara menurunkan kandungan asam sianida daun singkong, dapat dilakukan sebagai berikut
1 . Mengeringkan, melayukan atau menyimpan dalam waktu yang lama (COURSEY, 1973) . Menurut TORRES (1976) yang disitasi oleh SOETRISNO et al. (1981), menjemur selama 72 jam kandungan sianida yang tersisa tinggal 12,8%.
2 . Merendam daun singkong yang telah di iris-iris kemudian dicuci dengan air mengalir (WINARNO, 1980) atau dengan cara merebusnya karena sifat asam sianida yang muclah larut dalam air. Menambah waktu perebusan akan menurunkan kandungan sianida sampai 70 -80% (FUKUBA et al., 1984) .
3. Penambahan unsur sulfur (S) seperti Cystine, methionine clan tiosulfat dapat mengurangi pengaruh racun sianida . Dengan bantuan enzim rhodanase sianida yang terbentuk akan dikeluarkan melalui urine (CHURCH, 1974) .
2.7  Pengaruh Variasi Pengolahan terhadap Kadar Β-Karoten dalam Daun Singkong
Faktor Pengolahan Daun Singkong 
Suhu. Suhu air garam mendidih pada perlakuan A, B,  C,  dan  D  serta  suhu  santan  mendidih  pada perlakuan  C  dikontrol  dengan  pengamatan  keadaan mendidih merata.  Keadaan mendidih merata  adalah keadaan  saat  gelembung-gelembung  udara  muncul secara merata pada  semua permukaan air garam dan santan.  Data  yang  diperoleh  menunjukkan  bahwa suhu air garam mendidih dan  santan mendidih  tidak melebihi  100C  (titik  didih  air  pada  permukaan  air laut)  walaupun  memiliki  konsentrasi  larutan (molaritas) yang  lebih besar daripada air biasa, yaitu 96,8±0,4C,  97±0,7C,  dan  97,4±0,5C  untuk  suhu air  garam  mendidih  dan  94,2±1,6C  untuk  suhu santan  mendidih.  Hal  ini  disebabkan  tempat pengolahan yang lebih tinggi daripada permukaan air laut  sehingga  titik  didih  cairan  menurun.  Suhu minyak  goreng  panas  disamakan  untuk  semua pengulangan  pada  perlakuan  D,  yaitu  81,4±3,1C. Suhu  ini  diperoleh  dari  penelitian  pendahuluan dengan  memperhatikan  waktu  proses  pengolahan daun  singkong  yang  umum  dilakukan  di masyarakat karena  tidak  ada  ketentuan  pasti  pada  suhu  berapa daun singkong dimasukkan ke dalam minyak goreng. Penurunan  suhu  terjadi  pada  semua  perlakuan  pada saat  penambahan  daun  singkong  pada  media pengolahan.  Hal  ini  disebabkan  oleh  perpindahan panas  dari  media  pengolahan  ke  bahan  yang ditambahkan ke dalamnya.
pH. Hasil pengukuran menunjukkan bahwa  air garam  bersifat  basa,  sedangkan  santan  dan  minyak goreng  bersifat  asam.  Hasil  pengukuran  pH  sampel santan adalah 4,17. Tidak ada kerusakan fisik (warna, bau,  dan  rasa)  pada  santan.  Menurut  US FDA/CFSAN,  pH  santan  berkisar  antara  6,10-7,00 .  Kedua  nilai  ini  berbeda  jauh  meskipun  sama-sama  menunjukkan  sifat  asam.  Hal  ini  dapat disebabkan  lamanya  durasi waktu  antara  pembuatan santan  dan  pengukuran  pH.  Pembuatan  santan dilakukan  pada  pk  08.00 WIB  dan  pengukuran  pH dilakukan  pada  pk  13.00  WIB.  Santan  digunakan dalam pengolahan sekitar pk 10.00 hingga pk 11.00. Ini  dapat menyebabkan  pH  santan menurun.  Santan mengandung  kadar  air  yang  tinggi  sehingga kerusakan  mikrobial  mudah  terjadi.  Tumbuhnya mikroba  pada  santan  dapat  mengubah  komposisi santan  dengan  cara  menghidrolisis  lemak  dan menyebabkan  ketengikan.  Selain  itu,  keberadaan mikroba  dapat  menurunkan  pH  santan  akibat  asam yang  dihasilkan  oleh  bakteri.  Oleh  karena  itu,  pH santan  dapat  menurun  bila  dibiarkan  dalam  waktu yang  cukup  lama meskipun  belum  terjadi  kerusakan fisik.   Santan  merupakan  media  pengolahan  yang paling asam pada penelitian ini.
Waktu.  Perebusan  daun  singkong  yang  sangat muda  dilakukan  selama  5-10  menit.  Peneliti menggunakan  data  tersebut  sebagai  perkiraan waktu pengolahan  perebusan  dengan  air  garam.  Waktu pengolahan  daun  singkong  pada  masing-masing perlakuan  ditentukan  dari  penelitian  pendahuluan dengan memperhatikan  tekstur dan rasa pahit olahan daun  singkong.  Waktu  yang  dibutuhkan  untuk merebus  daun  singkong  dengan  air  garam  sehingga rasa  pahit  hilang  dan  tekstur  melunak  adalah  15 menit.  Kemudian,  pengolahan  lanjutan  (merebus dengan  santan dan menumis dengan minyak goreng) daun  singkong  cukup memerlukan  waktu  5  menit. Oleh karena itu, total waktu pengolahan perlakuan B,  C,  dan D  yang  dilakukan  pada  penelitian  ini  adalah 15 menit, 20 menit, dan 20 menit.
Warna dan Tekstur Olahan Daun Singkong
Warna  dan  tekstur  dipengaruhi  suhu,  waktu, dan  pH  lingkungan  dalam  pengolahan.  Suhu  yang tinggi  dan  durasi  pengolahan  yang  lama menyebabkan  tekstur  makanan  yang  lunak.  Garam mempengaruhi  warna  dan  tekstur  olahan  daun singkong  karena  larutan  garam  bersifat  basa. Lingkungan basa dapat mempertahankan warna hijau dan melunakkan tekstur daun singkong. Keadaan ini diperlukan dalam pengolahan daun singkong yang memiliki  tekstur  daun  yang  keras.  Faktor-faktor pengolahan  tersebut mempengaruhi  kadar  β-karoten daun  singkong  serta  warna  dan  teksturnya  sehingga secara  tidak  langsung  warna  dan  tekstur  dapat menggambarkan kadar β-karoten dari daun singkong.
Ada  dua macam  garam  yang  biasa  digunakan untuk  mengolah  daun  singkong,  yaitu  garam  dapur (NaCl)  dan  garam  bikarbonat  (NaHCO3).  Garam bikarbonat  yang  berasal  dari  basa  kuat  sodium hidroksida  (NaOH)  dan  asam  lemah  asam  karbonat (H2CO3),  sedangkan  garam  dapur  yang  berasal  dari basa kuat  sodium hidroksida  (NaOH) dan asam kuat asam  klorida  (HCl).  Oleh  karena  itu,  garam bikarbonat bersifat  lebih basa daripada garam dapur. Garam  bikarbonat  biasa  digunakan  untuk mempercepat  proses  pengolahan,  tetapi merusak  zat gizi  bahan  pangan.  Penelitian  ini  menggunakan garam dapur yang lebih aman untuk digunakan dalam pengolahan  sayuran  daun  hijau  untuk mempertahankan flavor.
Warna olahan daun singkong pada perlakuan C berwarna lebih coklat karena media pengolahan yang bersifat asam yang dapat merusak klorofil pada daun singkong. Media pengolahan  pada  perlakuan D  juga bersifat  asam,  tetapi  warna  hijau  olahan  daun singkong  masih  dapat  dipertahankan  karena  pH minyak  goreng  tidak  seasam  santan.  Media pengolahan pada perlakuan B bersifat basa  sehingga warna  hijau  pada  olahan  daun  singkong  dapat dipertahankan.  Perebusan  awal  daun  singkong dengan  air  garam  membantu  proses  pelunakkan tekstur  daun  singkong  yang  keras.  Tekstur  olahan daun  singkong  pada  perlakuan C  dan D  lebih  lunak daripada  perlakuan  B  disebabkan  oleh  waktu pengolahan yang lebih lama.
Kadar β-karoten Olahan Daun Singkong
Kadar  β-karoten  dari  yang  tertinggi  berturut-turut  didapatkan  dari  pengolahan  perebusan  dengan air  garam  (B),  perebusan  dengan  air  garam dilanjutkan  penumisan  dengan  minyak  goreng  (D), daun  singkong  segar  (A),  dan  perebusan  dengan  air garam dilanjutkan perebusan dengan santan (C).  Unit  eksperimental  yang  digunakan  adalah daun  singkong  segar  seberat  100  gram.  Seluruh sampel daun singkong dihomogenisasi sehingga daun singkong  pucuk  pertama  hingga  kelima  tersebar merata  di  setiap  unit  eksperimental.  Kemudian, ekstraksi β-karoten memerlukan sampel kurang lebih 25  gram  dari  tiap  unit  eksperimental.  Pengambilan sampel  ini  juga  membutuhkan  homogenisasi  pada tiap  unit  eksperimental.  Tes  homogenitas menunjukkan  bahwa  sampel  dalam  penelitian  ini homogen (p=0,058).

Pengaruh  Faktor  Pengolahan  terhadap  Kadar  β-karoten Olahan Daun Singkong
Marty dan Berset melakukan penelitian dengan β-karoten  all-trans-isomers  sintetis  dan menyatakan bahwa  ketahanan molekul  tersebut  pada  suhu  tinggi dipengaruhi  oleh  kondisi  medium  pengolahan. Pemanasan  yang  lama  pada  suhu  180  C  (pada kondisi  tanpa  oksigen)  hanya  menyebabkan  sedikit kerusakan  pada molekul  ini. Namun,  keberadaan  β-karoten all-trans-isomers pada bahan pangan (dengan adanya komponen penyusun berupa  pati,  lemak,  air, dan  lain-lain)  serta  pencampuran  secara  mekanis akan  memberi  kesempatan  masuknya  oksigen  dan menyebabkan kerusakan molekul β-karoten all-transisomers lebih besar.
Kondisi  pada  penelitian  ini  tidak menghilangkan  paparan  udara  dan  cahaya  pada proses pengolahan daun singkong sehingga suhu dan waktu  pengolahan  pada  semua  perlakuan  dapat berpengaruh pada  kerusakan  β-karoten. Perlakuan B mencapai  suhu  96,8C,  perlakuan  C  97C,  dan perlakuan D 97,4C. Perlakuan B (waktu pengolahan 15 menit) mengalami  proses  pemanasan  yang  lebih sebentar  daripada  perlakuan  C  dan  D  (waktu pengolahan  masing-masing  20  menit).  Media pengolahan pada perlakuan B bersifat basa (pH 7,59), sedangkan pada perlakuan C dan D bersifat asam (pH 4,17  dan  pH  6,43).  Waktu  pengolahan  yang  lebih lama  menyebabkan  paparan  panas  yang  lebih  lama sehingga  kadar  β-karoten  pada  perlakuan  C  dan  D lebih  rendah  daripada  perlakuan  B.  Penggunaan minyak pada perlakuan D menyebabkan daya hantar panas yang lebih cepat, namun pH media pengolahan pada  perlakuan  C  bersifat  paling  asam,    sehingga kadar  β-karoten  pada  perlakuan  C  lebih  rendah daripada  perlakuan  D.  Faktor-faktor  tersebut menyebabkan  kadar  β-karoten  pada  perlakuan  B (79,534  ±  5,784  µg/g  olahan  daun  singkong)  lebih tinggi  daripada  perlakuan  C  (19,022  ±  3,509  µg/g olahan  daun  singkong)  dan D  (65,926  ±  6,244  µg/g olahan daun singkong). 
Pengaruh  Pengolahan  Daun  Singkong  terhadap Kadar β-karoten Olahan Daun Singkong
Hasil  analisis  statistik  menunjukkan  bahwa variasi  pengolahan  daun  singkong  mempengaruhi kadar  β-karoten  daun  singkong.  Perbedaan  kadar  β-karoten  ini  disebabkan  oleh  berbagai  faktor  yang terdapat dalam berbagai macam pengolahan tersebut. Selain faktor suhu, pH, dan waktu pengolahan, faktor lain  yang mempengaruhi  perbedaan  kadar  β-karoten adalah  matriks  pangan,  degradasi  ikatan  protein dengan  β-karoten,  keberadaan  lemak  pada  olahan daun  singkong,  dan  kandungan  β-karoten  media pengolahan. 
Provitamin A bersifat lebih stabil dibandingkan dengan vitamin A karena  terdapat dalam  lokasi yang terhindar  terhadap  oksigen  dalam  bahan  pangan, misalnya dalam bentuk  dispersi koloid dalam media lemak  atau  dalam  bentuk  kompleks  dengan  protein.  β-karoten  terikat  dengan  komponen  lemak, organel  sel,  maupun  protein  pembawa  yang  ada dalam bahan pangan maupun tubuh manusia.
Penelitian  Castenmiller  et  al.,  1999, menunjukkan  bahwa  pengolahan  sayur  bayam mempengaruhi  matriks  bahan  pangan  dan  matriks bahan  pangan  mempengaruhi  kadar  dan bioavailabilitas  β-karoten  [14].  Pengolahan  sayur bayam menyebabkan kerusakan pada struktur dinding sel  dan  penurunan  keutuhan  sel  daun  sehingga bioavailabilitas  β-karoten  meningkat  dan  kadar  β-karoten  yang  rusak  akibat  paparan  panas  menjadi lebih  banyak.  Pengolahan  bahan  pangan menyebabkan  perubahan  matriks  pangan  yang menghasilkan  efek  negatif  (kerusakan  β-karoten akibat  isomerisasi  dan  oksidasi)  maupun  positif (peningkatan  ketersediaan  dan  bioavailabilitas  β-karoten). 
Daun  singkong  memiliki  tekstur  daun  yang keras.  Struktur  serat  yang  memberi  bentuk  dan tekstur  pada  daun  singkong  berubah  menjadi  lunak setelah  diberi  panas  melalui  proses  pengolahan. Tekstur  yang  lunak  menyebabkan  matriks  pangan terbuka sehingga β-karoten yang  tersedia dari olahan daun  singkong  lebih  banyak,  meskipun  juga menyebabkan  terpaparnya  β-karoten  terhadap  panas. Selain  itu,  pengolahan  bahan  pangan  menyebabkan degradasi  kompleks  protein  dan  β-karoten,  sehingga ketersediaan β-karoten lebih besar.
β-karoten  bersifat  lipofilik  karena  struktur nonpolarnya. Oleh  karena  itu,  β-karoten  larut  dalam lemak dan  terikat dengan komponen  lemak di bahan pangan.  Selain  itu,  struktur  molekul  β-karoten  memiliki  banyak  ikatan  ganda  sehingga  β-karoten rentan  mengalami  kerusakan  akibat  radikal  bebas pada makanan  yang  terbentuk  akibat  rancidity  yang dihasilkan  dari  peroksidasi  lemak.  Peroksidasi lemak  terjadi  melalui  tiga  jalur,  yaitu  hydrolytic rancidity  (pemutusan  rantai  karbon  oleh  air),
oxidative  rancidity  (proses  radikal  oleh  oksigen  di udara  pada  ikatan  rangkap  pada  lemak),  dan microbial  rancidity  (pemecahan  asam  lemak  akibat enzim lipase yang dihasilkan oleh bakteri).
 Lemak  yang  bersentuhan  dengan  udara  untuk jangka waktu yang  lama akan mengalami perubahan yang  dinamakan  proses  ketengikan  (rancidity). Oksigen  akan  terikat  pada  ikatan  rangkap  dan membentuk  peroksida  aktif.  Senyawa  ini  sangat reaktif  dan  dapat  membentuk  hidroperoksida  yang bersifat sangat tidak stabil dan mudah pecah menjadi senyawa rantai karbon yang lebih pendek oleh radiasi energi tinggi, energi panas, katalis logam, atau enzim. Reaksi  ini  bisa  terjadi  perlahan  pada  suhu menggoreng  normal  dan  dipercepat  dengan  adanya sedikit  besi  dan  tembaga  yang  biasa  ada  dalam makanan  [3,18]. Ketengikan  lemak umumnya  terjadi karena  adanya  kontak  dengan  udara.  Ketengikan lemak pada media pengolahan dan pemanasan bahan pangan  dengan  adanya  kontak  dengan  udara menyebabkan  hilangnya  β-karoten  yang  bersifat antioksidan.
Kadar  β-karoten  pada  perlakuan  B  (79,534  ±  5,784  µg/g olahan  daun  singkong)  dan  perlakuan  D  (65,926  ±  6,244  µg/g  olahan  daun  singkong)  lebih  tinggi daripada daun singkong segar  (43,530 ± 11,062 µg/g daun  singkong).  Pengolahan  perebusan  dengan  air garam  menyebabkan  peningkatan  ketersediaan  β-karoten  melalui  kerusakan  matriks  daun  singkong dan  degradasi  kompleks  β-karoten  dengan  senyawa lain.  Tetapi,  rusaknya  matriks  daun  singkong  tetap menyebabkan  paparan  panas  terhadap  zat  gizi semakin  besar. Waktu  pengolahan  yang  lebih  lama pada  perlakuan C  dan D menyebabkan  tekstur  daun singkong lebih lunak dan kadar β-karoten yang rusak lebih banyak daripada perlakuan B. 
Kadar  β-karoten  pada  perlakuan D  yang  lebih tinggi  daripada  perlakuan  C  (19,022  ±  3,509  µg/g olahan  daun  singkong)  dapat  dijelaskan  dengan  tiga hal,  yaitu  pH,  peroksidasi  lemak,  dan  kandungan  β-karoten  media  pengolahan. Media  pengolahan  pada perlakuan  C,  santan,  bersifat  lebih  asam  daripada perlakuan  D,  yang  dapat  merusak  β-karoten  lebih banyak.  Asam  menyebabkan  isomerisasi  β-karoten dari  bentuk  trans-  menjadi  cis-,  sehingga ketersediaannya berkurang.
Santan  dan  minyak  goreng  dapat  mengalami peroksidasi  lemak  melalui  berbagai  jalur  akibat adanya  kontak  dengan  udara  selama  proses pengolahan.  Kedua  media  pengolahan  ini mengandung  lebih  banyak  asam  lemak  tidak  jenuh, sehingga  kemungkinan  peroksidasi  lebih  banyak terjadi  melalui  jalur  hydrolytic  rancidity  dan microbial  rancidity.  Keberadaan  air  pada  santan menyebabkan  santan  lebih  mudah  mengalami peroksidasi  dan  rancidity  yang  dapat  merusak  β- karoten. 
Media  pengolahan  pada  perlakuan  D  adalah minyak goreng, yaitu Bimoli. Pada  label gizi produk minyak  goreng  Bimoli,  tidak  tercantum  kandungan vitamin A maupun β-karoten. Namun, Bimoli adalah minyak  kelapa  sawit  dengan  kandungan  β-karoten alami (18.181 µg/100 g BDD) yang dapat membantu pemenuhan  asupan  vitamin  A  sehari-hari.
Pemakaian  minyak  goreng  dalam  penelitian  ini adalah 20 gram tiap 90 gram daun singkong, sehingga dapat memberi tambahan β-karoten 40,402 µg/g daun singkong.  Bila  dibandingkan  dengan  Angka Kecukupan  Gizi  vitamin  A  bagi  pria  dan  wanita dewasa  (600  dan  500  µg  RE/hari),  tiap  100  gram bagian  yang  dapat  dimakan  (BDD)  ketiga  macam perlakuan  pengolahan  daun  singkong  tersebut  dapat memberikan ketersediaan vitamin A sebagai berikut.















BAB III
PENUTUP
3.1  Simpulan
Vitamin A adalah salah satu zat gizi dari golongan vitamin yang sangat di perlukan oleh tubuh yang berguna untuk kesehatan mata (agar dapat melihat dengan baik) dan untuk kesehatan tubuh (meningkatkan daya tahan tubuh untuk melawan penyakit misalnya campak, diare dan penyakit infeksi lain). Vitamin   A   dalam   tumbuhan   terdapat   dalam   bentuk   prekusor (provitamin). Provitamin A terdiri dari  ,  α β, dan  γ- karoten.  β  – karoten merupakan pigmen kuning dan salah satu jenis antioksidan yang memegang peran penting dalam mengurangi reaksi berantai radikal bebas dalam jaringan. Ada  pengaruh  variasi  cara  pengolahan (perebusan  dengan  air  garam,  perebusan  dengan  air garam  dilanjutkan  perebusan  dengan  santan,  dan perebusan  dengan  air  garam  dilanjutkan  penumisan dengan  minyak  goreng)  terhadap  kadar  β-karoten dalam  daun  singkong.  Kadar  β-karoten  tertinggi terdapat pada perlakuan perebusan dengan air garam, sedangkan  kadar  β-karoten  terendah  terdapat  pada perlakukan  perebusan  dengan  air  garam  dilanjutkan perebusan dengan santan.
3.2  Saran
1.  Daun  singkong  harus  melalui  proses  perebusan awal  menggunakan  air  garam  untuk menghilangkan  asam  sianida  (HCN)  yang berbahaya  bagi  kesehatan,  mempertahankan warna  hijau  daun  singkong,  dan  melunakkan tekstur  daun  yang  keras.  Perebusan  awal  100 gram  daun  singkong  muda  (didapat  dari  kurang lebih  dua  ikat  daun  singkong)  dengan  air  garam (dibuat  dengan  mencampurkan  satu  liter  air dengan  satu  sendok  teh  garam)  memerlukan waktu kurang lebih 15 menit. 
2.  Untuk mendapat manfaat  β-karoten  optimal  dari olahan  daun  singkong,  masyarakat  dapat mengolah  daun  singkong  dengan  merebus  atau menumisnya. 
3.  Daun singkong dapat dimanfaatkan sebagai bahan makanan  sumber  vitamin  A  untuk  mencegah defisiensi  vitamin  A  pada  anak-anak.  Daun singkong  dapat  diberikan  dengan masakan  yang menarik,  misalnya  perkedel  tahu  daun  singkong atau  skotel  daun  singkong.  Akan  tetapi,  perlu penelitian  lebih  lanjut mengenai  ketersediaan  β-karoten dalam olahan daun singkong tersebut.

























DAFTAR PUSTAKA
Meiliana. 2014. PENGARUH PROSES PENGOLAHAN DAUN SINGKONG (Manihot esculenta Crantz) DENGAN BERBAGAI PERLAKUAN TERHADAP KADAR β-KAROTEN. Surabaya : Indonesian Journal of Human Nutrition. Volume 1 Edisi 1 : 23 - 34
Njoku, D.N..2014. Identification of Pro-vitamin A Cassava (Manihot esculenta Crantz) Varieties. London : Taylor & Francis.
Askar, Surayah. DAUN SINGKONG DAN PEMANFAATANNYA TERUTAMA SEBAGAI PAKAN TAMBAHAN. Bogor :Balai Penelitian Ternak.
Almasyhuri. POTENSl DAUN SINCKONG KERlNG SEBACAI SUMBER TAMIN  UNTUK ANAK PRASEKOLAH.




LAMPIRAN

DBD Bionomi vektor


Demam Berdarah Dengue

Disusun untuk memenuhi tugas Pengendalian Vektor
Dosen Pengampu : Eram Tunggul Pawenang




Oleh:

Wulan Khoirul Rohmah          (6411414048)

Peminatan Epidemiologi dan Biostatiska Kesehatan




JURUSAN ILMU KESEHATAN MASYARAKAT
FAKULTAS ILMU KEOLAHRAGAAN
UNIVERSITAS NEGERI SEMARANG
2016



BAB I
PENDAHULUAN
1.1  Latar Belakang
Epidemiologi berasal dari bahasa yunani kuno, yaitu epi yang berarti diantara, dan demos yang berarti masyarakat, dan logos yang berarti kajian. Jadi epidemiologi dapat kita artikan sebagai kajian tentang apa yang terjadi di dalam kehidupan masyarakat (Ferasyi,2012).
Epidemiologi merupakan ilmu pengetahuan terapan yang mempelajari tentang timbulnya penyakit atau masalah kesehatan yang menimpa masyarakat. Pengetahuan ini memberi kerangka acuan untuk perencanaan dan evaluasi program intervensi masyarakat, mendeteksi segera dan pengobatan penyakit, serta meminimalkan kecacatan.
Epidemiologi mempunyai tiga fungsi utama, yaitu menerangkan tentang besarnya masalah dan gangguan kesehatan (termasuk penyakit) serta penyebarannya dalam suatu penduduk tertentu, menyiapkan data atau informasi yang esensial untuk keperluan perencanaan, pelaksanaan program, serta evaluasi berbagai kegiatan pelayanan (kesehatan) pada masyarakat, baik yang bersifat pencegahan dan penanggulangan penyakit tersebut dan mengidentifikasi berbagai faktor yang menjadi penyebab masalah atau faktor yang berhubungan dengan terjadinya masalah tersebut (Noor,2012).
Untuk melaksanakan fungsi tersebut, para ahli epidemiologi lebih memusatkan perhatian pada berbagai sifat karakteristik individu dalam suatu populasi tertentu seperti sifat karakteristik biologis, sosio-ekonomi, demografis, kebiasaan individu serta sifat karakteristik genetik penerapannya (Noor,1996).
Penyakit demam berdarah dengue atau disingkat DBD merupakan  salah  satu masalah kesehatan dunia. Hal  ini dapat dilihat dari  jumlah kasus DBD di dunia pada  tahun 2010 mencapai 2.204.516 kasus dan  jumlah  ini meningkat mendekati dua kali lipat dari tahun 2009 yang sebesar 1.451.083 kasus. Jumlah tersebut juga meningkat sebesar 50 kali lipat dalam 5 dekade terakhir. Menurut data dari WHO mengenai  jumlah kasus DBD  selama  tahun 2004-2010 didapatkan negara Brazil merupakan  negara  dengan  jumlah  kasus  DBD  terbesar  yaitu  447.446  kasus. Negara  dengan  jumlah  kasus  terbesar  kedua  dan  ketiga  adalah  Indonesia  dan Vietnam sebesar 129.435 kasus dan 91.321 kasus. (WHO, 2012a).
World  Health  Organization  (2013)  memperkirakan  2,5  milyar  masyarakat dunia  memiliki  risiko  terkena  virus  dengue  dan  lebih  dari  50-100  juta  infeksi dengue  diseluruh  dunia  setiap  tahunnya.  Infeksi  dengue  yang  berat  juga diperkirakan  menyerang  kurang  lebih  500.000  penduduk  dunia  dan  2,5% diantaranya meninggal dunia (WHO, 2013). Jumlah kasus DBD di kawasan Asia Tenggara  meningkat  dari  tahun  2011  sebesar  100.278  kasus  menjadi  257.024 kasus di tahun 2012 (WHO, 2012b).      
Penyakit DBD  juga masih merupakan masalah kesehatan besar di  Indonesia. Sejak pertama kali ditemukan di Surabaya pada tahun 1968 hingga saat ini jumlah kasus  DBD  terus  meningkat  (Kemenkes  RI,  2010).  Hal  ini  dapat  dilihat  dari jumlah  kasus DBD  sebesar  90.245  kasus  dengan  angka  insidensi  penyakit  pada tahun  2012  yang  mencapai  37,11  per  100.000  penduduk  dengan  jumlah  kasus meninggal  sebesar  816  kasus  (Case  Fatality  Rate  (CFR)  =  0,90%).  Terjadi peningkatan  jumlah  kasus  DBD  pada  tahun  2012  dibandingkan  dengan  tahun 2011  sebesar 65.725 kasus dengan  angka  insidensi 27,67 per 100.000 penduduk dan jumlah kematian 595 kasus (CFR = 0,91%) (Kemenkes RI, 2013).
1.2  Rumusan Masalah
Berdasarkan  uraian  latar  belakang masalah  di  atas, maka  dapat  dirumuskan permasalahan sebagai berikut : 
1.      Bagaimana gambaran penyakit DBD secara epidemiologi ?
2.      Bagaimana gambaran penyakit DBD secara bionomic vector ?
1.3  Tujuan Penulisan
Berdasarkan  uraian  rumusan masalah  di  atas, maka  tujuan penulisan sebagai berikut
1.      Untuk mengetahui gambaran penyakit DBD secara epidemiologi
2.      Untuk mengetahui gambaran penyakit DBD secara bionomic vektor
1.4  Manfaat Penulisan
Manfaat penulisan bagi penulis yaitu menambah pengetahuan tentang gambaranpenyakit DBD secara epidemiologi dan juga gambaran penyakit DBD secara bionomic vector.


BAB II
PEMBAHASAN

2.1  Gambaran Penyakit DBD secara Epidemiologi
2.1.1        Pengertian DBD
Demam  berdarah  dengue  (DBD)  adalah  penyakit  infeksi  yang disebabkan oleh virus dengue dengan manifestasi klinis demam 2- 7 hari, nyeri  otot  dan  atau  nyeri  sendi  yang  disertai  leukopenia,  ruam, limfadenopati, trombositopenia dan diatesis hemoragik (Suhendro, 2009). 
Tidak semua yang terinfeksi virus dengue akan menunjukkan manifestasi DBD  berat.  Ada  yang  hanya  bermanifestasi  demam  ringan  yang  akan sembuh dengan sendirinya atau bahkan ada yang sama sekali tanpa gejala sakit  (asimtomatik).  Sebagian  lagi  akan menderita  demam  dengue  saja yang tidak menimbulkan kebocoran plasma dan mengakibatkan kematian (Kemenkes RI, 2013).
2.1.2        Faktor risiko Demam Berdarah Dengue ( DBD )
Morbiditas  dan    mortalitas  penyakit  DBD  menurut  segitiga  epidemiologi dipengaruh oleh 3 faktor, yaitu:
2.1.2.1 Agent
Agent  merupakan  penyebab  penyakit,  dalam  penyakit  demam  berdarah dengue  (  DBD  )  adalah  virus.  Sedangkan  nyamuk  Aedes  merupakan  vektor
penyakit  DBD.  Virus  Aedes  mampu  bermultiplikasi  pada  kelenjar  ludah  dari
nyamuk  Aedes  Aegepty.  Pengontrolan  terhadap  virus  dengue  dapat  dilakukan dengan  melakukan  kontrol  pada  vektornya  yaitu  nyamuk  Aedes.  Jumlah kepadatan  vektor  Aedes  dalam  suatu  daerah  dapat  menjadi  patokan  potensial penyebaran DBD.
2.1.2.2 Host
Host atau Pejamu adalah manusia atau makhluk hidup lainnya yang menjadi tempat terjadinya proses alamiah perkembangan penyakit. Yang termasuk dalam faktor penjamu yaitu usia,  jenis kelamin, ras, anatomi  tubuh, status gizi, sosial  ekonomi,  status  perkawinan,  penyakit  terdahulu,  gaya  hidup, hereditas,  nutrisi dan  imunitas.  Faktor-faktor  ini  mempengaruhi  risiko untuk  terpapar  sumber  infeksi  serta  kerentanan  dan  resistensi manusia terhadap  suatu  penyakit  atau  infeksi.  Pejamu  memiliki  karakteristik tersendiri dalam menghadapi ancaman penyakit, antara lain:
1.      Imunitas
Kesanggupan  pejamu  untuk  mengembangkan  suatu  respon imunologis, dapat secara alamiah maupun non alamiah, sehingga tubuh  kebal  terhadap  suatu  penyakit  tertentu.  Selain mempertahankan  diri,  pada  jenis-jenis  penyakit  tertentu mekanisme  pertahanan  tubuh  dapat  menciptakan  kekebalan tersendiri.
2.      Resistensi
Kemampuan dari pejamu untuk bertahan  terhadap suatu  infeksi. Terhadap  suatu  infeksi  kuman  tertentu,  manusia  mempunyai mekanisme pertahanan tersendiri dalam menghadapinya.
3.      Infectiousness
Potensi  pejamu  yang  terinfeksi  untuk  menularkan  penyakit kepada  orang  lain.  Pada  keadaan  sakit  maupun  sehat,  kuman yang  berbeda  dalam  tubuh manusia  dapat  berpindah  kepada manusia dan sekitarnya.
2.1.2.3 Lingkungan
Dengue  di  Indonesia  memiliki  siklus  epidemik  setiap  sembilan  hingga sepuluh  tahunan.  Hal  ini  terjadi  karena  perubahan  iklim  yang  berpengaruh terhadap  kehidupan  vektor,  diluar  faktor-faktor  lain  yang  mempengaruhinya.
Menurut  Mc  Michael,  perubahan  iklim  menyebabkan  perubahan  curah  hujan,
kelembaban  suhu,  arah  udara  sehingga  berefek  terhadap  ekosistem  daratan  dan lautan  serta  berpengaruh  terhadap  kesehatan  terutama  terhadap  perkembangan vektor  penyakit  seperti  nyamuk.
Penyakit DBD dapat menyebar pada semua tempat kecuali tempat-tempat dengan ketinggian 1000 meter dari permukaan  laut karena pada tempat yang tinggi dengan suhu yang rendah  perkembangbiakan Aedes aegypti tidak sempurna.
Meningkatnya kasus serta bertambahnya wilayah yang terjangkit disebabkan
karena semakin baiknya sarana transportasi penduduk, adanya pemukiman baru, dan terdapatnya vektor nyamuk hampir di seluruh pelosok tanah air serta adanya empat tipe virus yang menyebar sepanjang tahun.
Kecamatan Magelang Utara termasuk daerah endemis tinggi DBD, secara topografi  dan  geografi  termasuk  dataran  tinggi  yang  berada  pada      ketinggian  ±  380  m  di  atas  permukaan  laut,  dengan  kemiringan  berkisar      antara  5o -  45o
Luas  wilayahnya  ±  6,128  km2  dengan  kontur  permukaan tanah bervariasi mulai dari kondisi   datar, bergelombang,  dan daerah kemiringan.  Kecamatan  Magelang  Utara  mempunyai  jumlah      penduduk    35.795  jiwa,  dengan  kepadatan  penduduk  ±  5.841  jiwa  /  km2 (Kecamatan  Magelang  Utara,  2013).  Jumlah  kasus  DBD  pada  tahun  2013 sebanyak  41  kasus,  dengan  Insidence  Rate  (IR)  DBD  =  114,54 per 100.000 penduduk (Dinkes Kota Magelang, 2013). 
Pola berjangkitnya infeksi virus  dengue dipengaruhi oleh iklim dan kelembaban udara. Pada suhu yang panas (28-320C) dengan kelembaban yang tinggi, nyamuk  Aedes aegypti  akan  tetap  bertahan  hidup  untuk  jangka  waktu  lama.
Di Indonesia karena suhu udara dan kelembaban tidak sama di setiap tempat maka pola terjadinya penyakit agak berbeda untuk setiap tempat. Di pulau Jawa pada umumnya infeksi virus dengue terjadi mulai awal Januari, meningkat terus sehingga kasus terbanyak terdapat pada sekitar bulan April-Mei setiap tahun.
Suhu  udara  rata-rata  di Kecamatan Magelang Utara yaitu 20oC  -  32oC,  dengan  kelembaban nisbi  antara  58,5%  -  90,8%. 
Rata-rata  curah  hujan  bulanan  di  kawasan      berkisar  ±  234  mm  dan  termasuk  ke  dalam  bulan  basah  sepanjang  tahun      (BPS  Kota  Magelang,  2013). 
Tempat penampungan air / keberadaan kontainer, sebagai  tempat perindukan nyamuk  Aedes aegypti.
Data dari data jumlah kasus DBD, IR DBD, dan Angka Bebas Jentik (ABJ) selama tiga  tahun terakhir di Kecamatan Magelang Utara, berdasarkan wilayah kelurahan sebagaimana tabel berikut :
Berdasarkan  Tabel  1,  pencapaian  ABJ  pada  tiap-tiap  kelurahan  belum mencapai  target  nasional  yaitu  ABJ  ≥  95%  (Depkes  RI,  2000;  Widiastuti,       et  al.,  2010),    kecuali Kelurahan Kramat Utara. Kasus DBD  dan  IR DBD  pada tahun 2013  tidak berbanding  lurus dengan pencapaian ABJ per kelurahan,  tetapi 
secara  garis  besar  cenderung  terjadi  peningkatan  jumlah  kasus  semenjak       tahun 2011 hingga tahun 2013.  
Kebersihan lingkungan / sanitasi lingkungan, dari penelitian  Yukresna (2003) di kota Medan dengan desain penelitian  case control  yang mendapatkan bahwa kebersihan lingkungan mempunyai hubungan dengan kejadian DBD dengan OR 2,90 (CI 95% 1,63-5,15). Penelitian tersebut sesuai dengan pernyataan Seogeng, S (2004) yang menyatakan bahwa kondisi sanitasi lingkungan berperan besar dalam perkembangbiakan nyamuk Aedes aegypti.
Data kasus DBD berdasarkan jenis permukiman / tempat tinggal pasien di Kecamatan Magelang Utara,  selama  tiga  tahun  berturut-turut  sebagaimana  tabel berikut :
Berdasarkan Tabel 2, terdapat perbedaan jumlah kasus DBD menurut jenis permukiman dan cenderung meningkat semenjak tahun 2011 mengikuti siklus tiga tahunan.  Jumlah  kasus  DBD  terbanyak  terjadi  di  perkampungan  tradisional, diikuti  real  estate  dan  asrama  tentara.
2.2  Gambaran Penyakit DBD secara Bionomic Vektor
Pengertian  vektor  DBD  adalah  nyamuk  yang  dapat  menularkan, memindahkan  dan  atau  menjadi  sumber  penular  DBD.  Virus  dengue ditularkan  dari  orang  ke  orang melalui  gigitan  nyamuk  Aedes    aegypti merupakan vektor epidemi yang paling utama, namun spesies lain seperti Aedes  albopictus,  Aedes  polynesiensis dan Aedes  niveus  juga  dianggap sebagai  vektor  sekunder. Kecuali  Aedes  aegypti  semuanya mempunyai daerah  distribusi  geografis  sendiri-sendiri  yang  terbatas.  Meskipun mereka merupakan  host  yang  sangat baik untuk  virus  dengue, biasanya mereka merupakan vektor epidemi yang kurang efisien dibanding Aedes aegypti (Ditjen PP dan PL, 2011)
Bila penderita DBD digigit nyamuk penular maka virus akan ikut terisap masuk ke dalam  lambung nyamuk, selanjutnya akan memperbanyak diri dan  tersebar  di  berbagai  jaringan  tubuh  nyamuk,  termasuk  kelenjar ludahnya.  Nyamuk  Aedes  aegypti  yang  telah  menghisap  virus  dengue akan  menjadi  penular  atau  infektif  selama  hidupnya.  Nyamuk  dengan umur panjang berpeluang menjadi vektor lebih besar, karena lebih sering kontak  dengan manusia. Penyakit DBD  semakin menyebar  luas  sejalan dengan meningkatnya arus  transportasi dan kepadatan penduduk, semua
desa/kelurahan mempunyai resiko untuk terjangkit penyakit DBD.
Sampai  saat  ini  penyebaran  DBD  masih  terpusat  di  daerah  tropis disebabkan  oleh  rata-rata  suhu  optimum  pertumbuhan  nyamuk  adalah  25-270C. Namun,  dengan  adanya  pemanasan  global, DBD  diperkirakan akan meluas  sampai  ke  daerah-daerah  beriklim  dingin  (Sembel,  2009).
Nyamuk  ini  dikenal  sebagai  Tiger  mosquito  atau  Black White  Mosquito  karena  tubuhnya mempunyai  ciri khas berupa  adanya garis– garis dan bercak bercak putih keperakan di  atas  dasar  warna  hitam.  Dua  garis melengkung  berwarna  putih  keperakan  dikedua  sisi  lateral  serta  dua  buah  garis putih  sejajar  di  garis  median  dari punggungnya  yang berwarna dasar hitam.(James MT and Harwood RF, 1969)
Nyamuk  dewasa Aedes  albopictus mudah dibedakan  dengan Aedes  aegypti karena garis  thorax hanya berupa dua garis  lurus di tengah thorax. (Soedarto, 2008)
Mulut nyamuk termasuk tipe menusuk dan mengisap  (  rasping – sucking)  ,mempunyai  enam  stilet  yaitu  gabungan antara  mandibula,  maxilla  yang  bergerak naik  turun  menusuk  jaringan  sampai menemukan  pembuluh  darah  kapiler  dan mengeluarkan  ludah  yang  berfungsi sebagai  cairan  racun  dan  antikoagulan.  (Sembel DT, 2009)
Pada  keadaan  istirahat  nyamuk  dewasa hinggap  dalam  keadaan  sejajar  dengan permukaan.  Nyamuk  Aedes  betina mempunyai  abdomen  yang  berujung lancip dan mempunyai cerci yang panjang.
Hanya  nyamuk  betina  yang  mengisap darah dan kebiasaan mengisap darah pada Aedes aegypti umumnya pada waktu siang hari  sampai  sore  hari.  Lazimnya  yang betina  tidak  dapat  membuat  telur  yang dibuahi  tanpa  makan  darah  yang diperlukan  untuk  membentuk  hormone gonadotropik  yang  diperlukan  untuk ovulasi.  Hormon  ini  berasal  dari  corpora allata  yaitu  pituitary  pada  otak  insecta, dapat  dirangsang  oleh  serotonin  dan adrenalin  dari  darah  korbannya. Kegiatan menggigit  berbeda  menurut  umur,  waktu dan  lingkungan. Demikian  pula  irama serangan  sehari-hari  dapat  berubah menurut  musim  dan  suhu.  Kopulasi didahului oleh pengeriapan nyamuk jantan yang  terbang  bergerombol  mengerumuni nyamuk  betina.  Aedes  memilih  tanah teduh yang secara periodik di genangi air. Jumlah  telur yang  diletakkan  satu  kali maksimum  berjumlah  seratus  sampai empat  ratus  butir.(Neva  FA  and  Brown HW, 1994)
Telur Aedes sp. tidak mempunyai pelampung  dan  diletakkan  satu  persatu diatas  permukaan  air.  Ukuran  panjangnya 0,7  mm,  dibungkus  dalam  kulit  yang berlapis  tiga  dan  mempunyai  saluran berupa  corong  untuk  masuknya spermatozoa.  Telur Aedes  aegypti dalam keadaan  kering  dapat  tahan  bertahun –tahun  lamanya. Telur  berbentuk  elips  dan mempunyai  permukaan  yang  polygonal. Telurnya  tidak  akan  menetas  sebelum tanah  digenangi  air  dan    telur  akan menetas dalam waktu satu sampai tiga hari pada suhu 30°C tetapi membutuhkan tujuh hari  pada  suhu  16°C.  (  Neva  FA  and Brown HW, 1994 )
Larva memiliki kepala yang cukup besar    serta  thorax  dan  abdomen  yang cukup  jelas.  Larva  menggantungkan dirinya  pada  permukaan  air  untuk mendapatkan  oksigen  dari  udara.  Larva menyaring  mikroorganisme  dan  partikel- partikel  lainnya dalam air. Larva biasanya melakukan  pergantian  kulit  sebanyak empat  kali  dan  berubah  menjadi  pupa sesudah  tujuh  hari.  (Harwood  RF  and James MT, 1979)
Hasil penelitian yang dilakukan oleh Fitriyanti Lakoro dan teman teman dalam jurnalnya yang berjudul pengaruh suhu terhadap jumlah larva  Aedes aegypti yang terperangkap pada ovitrap warna merah di Kelurahan Huangobotu Kecamatan Dungingi Kota Gorontalo menunjukkan bahwa Berdasarkan perolehan dari dalam rumah  maka  dapat  disimpulkan  bahwa perolehan  larva  yang  banyak terperangkap pada Ovitrap warna merah berada di  suhu 29 0C dan paling  sedikit pada suhu 32 0C.
Berdasarkan  perolehan  dari  luar rumah  maka  dapat  disimpulkan  bahwa perolehan  larva  yang  banyak terperangkap pada Ovitrap warna merah berada di  suhu 30 0C dan paling  sedikit pada suhu 32 0 C. Jika  disimpulkan  dari  hasil perolehan  larva  di  dalam  dan  di  luar rumah maka perolehan terbanyak berada pada Ovitrap  yang  diletakkan  di  dalam rumah  dengan  jumlah  264  larva  dan paling sedikit berada pada Ovitrap yang berada di luar rumah dengan jumlah 132 larva. Berdasarkan  teori, nyamuk Aedes aegypti  lebih  senang  beristirahat  di dalam  rumah  daripada  di  luar  rumah sebab di dalam rumah mereka terlindung dari  sinar  matahari  langsung, bersembunyi  di  tempat-tempat  yang gelap dan lembab sedangkan jika di luar lebih  banyak  terdapat  nyamuk  anoples, tetapi  di  Kelurahan  Huangobotu teridentifikasi  endemis  DBD  jadi nyamuk  Aedes  di  luar  tetap  ditemukan terutama  didukung  oleh  cuaca  yang sekarang  ini  musim  hujan  yang  akan menambah tingkat oposisi nyamuk.
Selain itu penelitian yang dilakukan oleh Laksmono Widagdo dalam jurnalnya yang berjudul kepadatan jentik aedes aegypti sebagai indikator keberhasilan pemberantasan sarang nyamuk (3m plus):  di Kelurahan Srondol wetan, Semarang tahun 2008 mendapatkan hasil sebagai berikut : Variabel yang berhubungan secara signifikan dengan PSN 3M Plus adalah karakteristik sosial responden yaitu pendidikan, pekerjaan, pengetahuan, dan sikap responden. Ada hubungan bermakna PSN 3M Plus di bak mandi, ember dan  gentong plastik dengan jumlah jentik di tempat penampungan air tersebut. Dihasilkan persamaan prediksi kepadatan jentik: Y = 25 -19.950X, dengan Y = Kepadatan jentik dan X = Praktek mengubur ember. 
Kemudian banyak juga penelitian tentang cara untuk membunuh larva nyamuk ini. Salah satunya yaitu Efektivitas Larvasida Ekstrak Daun Sirsak Dalam Membunuh Jentik Nyamuk oleh Haqkiki Harfriani tahun 2012 dengan hasil sebagai berikut : larvasida ekstrak daun sirsak efektiv dalam membunuh jentik nyamuk pada tempat penampungan air di Kelurahan Gajahmungkur Kota Semarang. Hal ini didapati perbedaan jumlah jentik nyamuk selama 6 jam dengan pemberian larvasida ekstrak daun sirsak. Jumlah jentik sesudah diberi larvasida daun sirsak berbeda (p=0,0001), sehingga larvasida ekstrak daun sirsak efektif dapat menekan jumlah jentik nyamuk
Pupa  berbentuk  agak  pendek, tidak  makan  tetapi  tetap  aktif  bergerak dalam  air  terutama  bila  terganggu.  Pupa akan berenang naik turun dari bagian dasar ke  permukaan  air. Dalam waktu  dua  atau tiga  hari  perkembangan  pupa  sudah sempurna,  maka  kulit  pupa  pecah  dan nyamuk  dewasa  muda  segera  keluar  dan terbang. ( Sembel DT, 2009)
Tempat perindukan utama Aedes aegypti adalah  tempat-tempat berisi air bersih yang berdekatan letaknya dengan rumah penduduk, biasanya tidak melebihi jarak 500 meter dari rumah. Tempat perindukan tersebut berupa tempat  perindukan  buatan  manusia,  seperti  tempayan  atau  gentong tempat  penyimpanan  air minum,  bak mandi,  pot  bunga,  kaleng,  botol, drum, dan lain sebaginya (Sungkar, 2008). 
Tempat  perindukan  utama  tersebut  dapat  dikelompokkan  menjadi Tempat  Penampungan  Air  (TPA)  untuk  keperluan  sehari-hari  seperti drum, tempayan, bak mandi, bak WC, ember, dan sejenisnya, TPA bukan untuk  keperluan  sehari-hari  seperti  tempat minuman  hewan,  ban  bekas, kaleng  bekas,  vas  bunga,  perangkap  semut,  dan  sebagainya,  dan  TPA alamiah  yang  terdiri  dari  lubang  pohon,  lubang  batu,  pelepah  daun, tempurung  kelapa,  kulit  kerang,  pangkal  pohon  pisang,  dan  lain-lain (Soegijanto, 2006).
Namun dari jurnal penelitian lain yang berjudul Perilaku Bertelur Nyamuk Aedes aegypti pada Media Air Tercemar oleh Tri Wurisastuti tahun 2012, mendapatkan hasil bahwa Jumlah  telur minimum pada kelompok  air  tidak  tercemar  (air  kran) sebanyak  21  butir  dan  maksimum sebanyak 106 butir. Pada media air cucian beras,  air  dengan  kotoran  ayam  dan  air sabun tidak ditemukan telur nyamuk Aedes aegypti  (0  butir),  namun  pada  kelompok air  tercemar  lainnya  (air dengan  tanah, air dengan  kotoran  sapi  dan  air  dengan kotoran  kuda)  ditemukan  cukup  banyak telur Aedes aegypti. Air dengan campuran kotoran sapi merupakan media yang paling banyak  ditemukan  jumlah  telur  Aedes aegypti.  Rata-rata  telur  yang  ada  pada media  air  dengan  kotoran  sapi  sebanyak 290.5 butir telur dalam empat kali ulangan.
Uji  lanjut dilakukan untuk mengetahui media mana yang disukai dan tidak disukai nyamuk  Aedes aegypti untuk bertelur. Uji lanjut  yang  dilakukan  adalah  uji  lanjut Duncan.  Hasil  uji  lanjut  Duncan menyatakan  bahwa  air  dengan  campuran kotoran  sapi  paling  berpengaruh  atau paling disukai oleh nyamuk Aedes aegypti  untuk meletakkan  telurnya.  Campuran  air dengan  kotoran  sapi  ini  memiliki perbedaan statistik yang bermakna dengan jenis  media  lainnya.  Media  air  yang disukai  oleh  nyamuk Aedes  aegypti  untuk meletakkan  telurnya  setelah  campuran  air  dengan kotoran sapi adalah media air kran. Hal  ini  dianggap  wajar,  karena  secara teoritis  nyamuk  Aedes  aegypti  memang suka  bertelur  di  air  yang  bersih.  Namun dari  hasil  uji  lanjut  Duncan  diketahui bahwa  pengaruh  media  air  kran  tidak memiliki perbedaan yang bermakna secara statistik  dengan  media  air  dengan  tanah dan  media  air  dengan  kotoran  kuda. Dengan  demikian  nyamuk  Aedes  aegypti  juga  suka  bertelur  di  media  air  dengan tanah dan media air dengan kotoran kuda. Media  yang  tidak  disukai  nyamuk  Aedes aegypti  untuk  bertelur  adalah  media  air cucian  beras,  media  air  dengan  kotoran ayam  dan  media  air  sabun.
Lalu dari jurnal penelitian lain juga menerangkan tentang kemampuan adaptasi nyamuk aedes aegypti dan aedes dalam berkembang biak berdasarkan jenis air dengan hasil sebagai berikut : Kemampuan  adaptasi  berkembang  biak  jenis  Aedes  aegypti  sp.  pada  air  hujan  larva sebesar 13.12% dan pupa sebesar 16.66%, pada air sumur gali  larva sebesar 16.54% dan pupa sebesar  33.32%,  pada  air  selokan  larva  sebesar  35.35%  dan  pupa  sebesar  23.66%  dan kemampuan adaptasi  berkembang  biak  jenis Aedes albopictus  sp. pada air  hujan  larva  sebesar 13.88%  dan  pupa  sebesar  31.03%,  pada  air  sumur  gali  larva  sebesar  9.33%  dan  pupa  sebesar 16.16% dan pada air selokan larva sebesar 43.28% dan pupa sebesar 21.44%.
Nyamuk betina membutuhkan protein untuk memproduksi telurnya. Oleh karena  itu,  setelah  kawin  nyamuk  betina  memerlukan  darah  untuk pemenuhan  kebutuhan  proteinnya.  Nyamuk  betina  menghisap  darah manusia  setiap  2-3  hari  sekali.  Nyamuk  betina  menghisap  darah  pada pagi dan  sore hari dan biasanya pada  jam 09.00-10.00 dan 16.00-17.00 WIB.  Untuk  mendapatkan  darah  yang  cukup,  nyamuk  betina  sering menggigit  lebih dari  satu orang. Posisi menghisap darah nyamuk Aedes aegypti  sejajar dengan permukaan kulit manusia.  Jarak  terbang nyamuk Aedes aegypti sekitar 100 meter (Depkes RI, 2004).
Pergerakan  nyamuk  dari  tempat  perindukan  ke  tempat mencari mangsa dan selanjutnya ke tempat untuk beristirahat ditentukan oleh kemampuan terbang nyamuk. Pada waktu terbang nyamuk memerlukan oksigen lebih banyak,  dengan  demikian  penguapan  air  dari  tubuh  nyamuk  menjadi lebih  besar. Untuk mempertahankan  cadangan  air  di  dalam  tubuh  dari penguapan maka  jarak  terbang  nyamuk menjadi  terbatas. Aktifitas  dan jarak  terbang  nyamuk  dipengaruhi  oleh  2  faktor  yaitu  faktor  eksternal dan faktor internal. 
Meskipun Aedes  aegypti  kuat  terbang  tetapi  tidak  pergi  jauh-jauh, karena  tiga macam kebutuhannya yaitu  tempat perindukan,  tempat mendapatkan darah, dan tempat istirahat ada dalam satu rumah. Keadaan tersebut yang menyebabkan Aedes aegypti bersifat  lebih menyukai aktif di  dalam  rumah,  endofilik.  Apabila  ditemukan  nyamuk  dewasa  pada jarak  terbang  mencapai  2  km  dari  tempat  perindukannya,  hal  tersebut disebabkan oleh pengaruh angin atau terbawa alat transportasi.
Setelah selesai menghisap darah, nyamuk betina akan beristirahat sekitar 2-3  hari  untuk  mematangkan  telurnya.  Nyamuk  Aedes  aegypti  hidup domestik, artinya lebih menyukai tinggal di dalam rumah daripada di luar rumah.  Tempat  beristirahat  yang  disenangi  nyamuk  ini  adalah  tempat-tempat yang  lembab dan kurang  terang seperti kamar mandi, dapur, dan WC.  Di  dalam  rumah  nyamuk  ini  beristirahat  di  baju-baju  yang digantung,  kelambu,  dan  tirai.  Sedangkan  di  luar  rumah  nyamuk  ini beristirahat pada  tanaman-tanaman  yang  ada di  luar  rumah  (Depkes RI, 2004).
Nyamuk Aedes aegypti  tersebar  luas di daerah  tropis dan  sub  tropis. Di Indonesia,  nyamuk  ini  tersebar  luas  baik  di  rumah-rumah  maupun tempat-tempat  umum.  Nyamuk  ini  dapat  hidup  dan  berkembang  biak sampai  ketinggian  daerah  ±1.000  m  dari  permukaan  air  laut.  Di  atas ketinggian  1.000  m  nyamuk  ini  tidak  dapat  berkembang  biak,  karena pada  ketinggian  tersebut  suhu  udara  terlalu  rendah,  sehingga  tidak memunginkan bagi kehidupan nyamuk tersebut (Depkes RI, 2005).
Pada  saat musim  hujan  tiba,  tempat  perkembangbiakan  nyamuk  Aedes aegypti yang pada musim kemarau  tidak  terisi air, akan mulai  terisi air. Telur-telur yang tadinya belum sempat menetas akan menetas. Selain itu, pada  musim  hujan  semakin  banyak  tempat  penampungan  air  alamiah yang  terisi  air  hujan  dan  dapat  digunakan  sebagai  tempat berkembangbiaknya  nyamuk  ini.  Oleh  karena  itu,  pada  musim  hujan populasi nyamuk Aedes aegypti akan meningkat. Bertambahnya populasi nyamuk ini merupakan salah satu faktor yang menyebabkan peningkatan penularan penyakit dengue (Depkes RI, 2005).




















BAB III
PENUTUP
3.1              SIMPULAN


3.2              SARAN